Mengetatkan pergerakan masyarakat menjadi kunci dalam mengendalikan penularan wabah Covid-19 di tanah air. Terbukti seiring dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat dan dilanjutkan PPKM Leveling sampai Agustus ini, mobilitas masyarakat menurun tajam pada Juli 2021.

Dari data google mobility index yang diolah oleh Badan Pusat Statistik (BPS), terlihat aktivitas masyarakat menurun di sejumlah tempat sepanjang Juli 2021. Seperti dijelaskan oleh Kepala BPS Margo Yuwono, Senin (2/8/2021), kunjungan masyarakat ke tempat perdagangan ritel dan rekreasi turun 20,0% dari periode baseline 3 Januari 2020 hingga 6 Februari 2020 alias dari sebelum pandemi Covid-19 di Indonesia.

Sedangkan tempat belanja kebutuhan sehari-hari masih naik 12,7% dari pra Covid-19. Namun, angkanya menurun dari Juni 2021 yang sebesar 19,8%. Mobilitas di taman turun 19,9% pada Juli 2021 pun mobilitas di tempat transit turun 45,5% dan mobilitas di tempat kerja turun 29,5%.

Seturut dengan pembatasan mobilitas ini, mobilitas di rumah meningkat 13,2%. Peningkatannya bahkan yang tertinggi sejak bulan Januari 2021 yang sebesar 10,8%.

Meski kondisinya demikian, pemerintah masih tetap memperpanjang kebijakan PPKM Level 4-2 dari 9 Agustus sampai 16 Agustus 2021. Mengingat di beberapa daerah kasus konfirmasi Covid-19 belum melandai, tingkat kepatuhan terhadap protokol kesehatan serta mobilitas masyarakat masih tinggi. Ketika kasus Jawa-Bali menurun, justru luar Jawa-Bali kasusnya cenderung meningkat dari periode sebelumnya.

Melalui kebijakan PPKM, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan assesmen berdasarkan kondisi kasus konfirmasi Covid-19, tingkat penyebaran, testing kasus, ketersediaan fasilitas kesehatan serta pengendalian mobilitas sosial ekonomi masyarakat.

Dari situlah level penanganan akan ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sejumlah sektor di wilayah di level 4 dan 3 bisa dilonggarkan sepanjang mematuhi aturan tertentu dan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Menyikapi kondisi tersebut, untuk membantu pemerintah dalam upaya mencegah penularan Covid-19, sekelompok mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengembangkan sistem deteksi kerumunan. Mereka prihatin, meski sudah diterapkan PPKM masih saja ada pelanggaran protokol kesehatan seperti menjaga jarak dan menghindari kerumunan.

"Sistem yang kami kembangkan ini dapat mendeteksi adanya kerumunan sekaligus menampilkan informasi kapan dan dimana kerumunan terjadi," terang Ketua tim peneliti, Zulfa Andriansyah, Rabu (3/8/2021).

Menurut mahasiswa Fakultas Geografi UGM ini, sistem yang diberi nama Syncrom atau kepanjangan dari System of Detection and Crowd Mapping ini dibuat berbasis berbasis deep learning dan WebGIS. Dengan begitu, melalui sistem ini dapat mendeteksi adanya kerumunan dengan menyajikan informasi jumlah massa dan menampilkan visualisasi kondisi di lapangan baik waktu dan tempat terjadinya kerumunan secara near realtime (mendekati waktu nyata).

"Dengan platform ini sistem pemantauan bisa dilakukan secara terus-menerus selama 24 jam. Data terus di-update setiap 30 detik," terang Zulfa.

Aplikasi Syncrom ini dikembangkan oleh Zulfa bersama dengan keempat rekannya yaitu M Ihsanur Adib (Kartografi dan Penginderaan Jauh), Wahyu Afrizal Bahrul Alam (Teknologi Informasi), Malik Al-Aminullah Samansya (Teknik Nuklir), dan Najmuddin Muntashir ‘Abdussalam (Teknik Industri) di bawah bimbingan Dr. Taufik Hery Purwanto, MSi. Purwarupa ini lahir lewat program kreativitas mahasiswa bidang karsa cipta (PKM-KC) tahun 2021 yang memperoleh dana hibah pengembangan sebesar Rp9 juta dari Kemendikbudristek.

Syncrom ini juga dilengkapi dengan fitur peringatan dini adanya kerumunan. Peringatan adanya kerumunan di lokasi terdeteksi akan disampaikan melalui pengeras suara atau voice alert secara otomatis.

Sistem Syncrom tersebut bisa mendeteksi kerumunan melalui input data visual yang diproleh melalui CCTV lewat web cam yang terhubung dengan komputer lokal yang sebelumnya telah diprogram dengan deep learning untuk mendeteksi keberadaan manusia dan memprediksi kerumunan di suatu lokasi diteruskan ke sistem untuk dianalisis. Setelah itu, hasil data dikirimkan ke WebGIS dalam bentuk informasi terkait lokasi, waktu, dan jumlah kejadian kerumunan yang berada di satu lokasi terpantau CCTV.

Ke depan, mereka juga akan menambahkan fitur berupa text alert untuk mempermudah petugas dalam pemantauan. Misalnya, ketika petugas sedang tidak berada di ruang kontrol tetap dapat menerima informasi melalui SMS atau telegram apabila terjadi kerumunan.

Penemuan mahasiswa UGM diklaim merupakan yang pertama. Pasalnya, belum ada produk yang mengintegrasikan deteksi kerumunan dengan pemetaan yang juga disertai dengan adanya peringatan dini. Biasanya deteksi kerumunan dengan memakai sensor proximity menggunakan perangkat pengguna seperti smartphone.

Dalam pengembangan purwarupa alat deteksi kerumunan ini, tim mahasiswa UGM tersebut masih menggunakan web cam, belum memakai CCTV karena adanya keterbatasan dana. Namun begitu, hasilnya dapat memantau keumunan secara optimal dan akurat.

Sistem yang mulai dikembangkan sejak Juni 2021 telah diujicobakan di lapangan. Hasilnya, memiliki akurasi lebih dari 75% dalam mendeteksi kerumunan di suatu ruangan. Jika dikembangkan menggunakan CCTV beresolusi tinggi hasilnya bisa jauh lebih akurat.

Inovasi anak bangsa ini diharapkan bisa membantu petugas keamanan atau ketertiban di daerah dalam penegakan protokol kesehatan masyarakat terutama saat terjadi pelanggaran kerumunan. (*)