Hoya sudah sejak lama telah dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional oleh masyarakat di Indonesia dan kawasan Polinesia. Hoya juga mampu menyerap polutan pada suatu ruangan.

Hoya adalah tanaman khas daerah tropis dari keluarga Apocynaeceae. Tanaman ini banyak tumbuh di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Vietnam. Dalam jenis lebih kecil juga ditemui di Australia serta India bagian selatan.

Setidaknya ada 200-300 jenis hoya tumbuh di dunia di mana 25 persennya atau sekitar 50--60 jenis terdapat di Indonesia, India (39 jenis), Thailand (32 jenis), dan Malaysia (25 jenis). Di Indonesia, tanaman ini banyak dijumpai di Pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Papua. Misalnya Hoya archboldianaH. australisH. cinnamomifoliaH. kerrii, dan H. imbricata

Nama hoya disematkan oleh ahli tumbuhan kenamaan berkebangsaan Skotlandia, Robert Brown diambil dari nama belakang sahabatnya, seorang botanis Inggris Thomas Hoy. Brown menemukan hoya saat melakukan ekspedisi sains ke benua Asia dan Australia menggunakan kapal HMS Investigator, 1798 silam.

Nama tumbuhan dengan bunga indah berbentuk pola bintang ini diberikan Brown sebagai penghargaan atas dedikasi Hoy selama 40 tahun meneliti tumbuhan. Brown menyertakan nama hoya dalam bukunya Prodromus Florae Novae Hollandiae et Insulae Van Diemen.

Buku terbitan 1810 itu berisi 1.200 nama flora yang ditemukan pria kelahiran Montrose, 21 Desember 1773, saat menggelar ekspedisinya. Menurut Brown, hoya merupakan tumbuhan merambat atau melilit batang pohon yang ditumpangi, umumnya mereka tumbuh 1--18 meter tingginya.

Corak bunganya semiglosi serta kemilaunya agak kabur karena tertutupi oleh bulu-bulu halus. Jika dilihat sepintas, hoya tidak tampak seperti bunga sungguhan, melainkan seperti replika. Karena itu hoya kerap dijuluki sebagai tanaman lilin (waxplant) atau bunga porselen (porcelain flower).

Satu kuntum bunga hoya berukuran 1,5 sentimeter dan tumbuh membentuk kelompok. Satu kelompok biasanya berjumlah 30 kuntum bunga harum semerbak, yakni wangi aroma cokelat atau selai kacang. Seperti tercium dari Hoya carnosa yang bentuknya kerap disamakan dengan anggrek. Bunga hoya mempunyai banyak nektar lengket dan disukai kupu-kupu. Tak jarang bunganya berjatuhan ke tanah karena beratnya nektar atau karena perlakuan para serangga penyerbuk.

Selain kecantikan bunganya, daun hoya pun banyak mengundang perhatian dan juga dijadikan tolok ukur kesempurnaan. Daunnya sederhana, diatur dalam pola yang berlawanan dan biasanya sukulen.

Flora itu juga kerap dijadikan tanaman hias eksotis di sudut-sudut taman rumah para bangsawan Nusantara tempo dulu. Pada era kolonial, hoya juga sempat dibawa ke Eropa oleh para saudagar asal benua biru untuk ditanam di rumah mereka.

Hoya telah menjadi flora yang cukup banyak dicari pecinta tanaman hias saat ini karena keunikan bentuk bunganya kendati belum sepopuler anggrek, misalnya. Nilai jualnya pun terbilang tinggi, berkisar Rp25.000-Rp500.000 per stek atau Rp500.000-Rp4.000.000 per pot untuk tanaman dewasa. Di pasar internasional, tanaman ini bisa dihargai hingga USD100 (Rp1,4 juta) per steknya.

Peneliti Pusat Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sri Rahayu mengatakan, hoya memiliki nilai penting dalam keanekaragaman hayati di Indonesia karena selain nilai ekologi dan ekonominya tinggi, juga mengandung nilai ilmiah. Demikian disampaikannya dalam orasi berjudul "Konservasi Biodiversitas dan Pemanfaatan Berkelanjutan Hoya di Indonesia” saat ia dikukuhkan sebagai profesor riset di LIPI.

Doktor tumbuhan dari Institut Pertanian Bogor ini menyebut kalau hoya sudah sejak lama telah dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional oleh masyarakat di Indonesia serta di kawasan Polinesia. Keunggulan lainnya dari hoya, yaitu berkemampuan tinggi dalam menyerap polutan pada suatu ruangan. Ini sesuai dengan hasil penelitian di University of Georgia. Sejumlah peternak domba di Australia juga memberikan ramuan hoya bagi ternak mereka yang keracunan.

Kondisi tadi, menurut Rahayu, kontras dengan masih terbatasnya pemanfaatan secara ekonomi hoya dan belum menjadi prioritas konservasi nasional. Ketidaktahuan masyarakat terhadap aturan dan mekanisme serta prinsip konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam hayati berkelanjutan menjadi masalah utama. Terlebih lagi, hoya sangat bergantung pada keberadaan pohon yang ditumpangi. 

”Pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai aturan perdagangan tumbuhan hidup, baik untuk pasar di dalam maupun di luar negeri juga sangat minim sehingga terjadi penjualan yang tidak sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dapat menyebabkan keuntungan ekonomi tertinggi diperoleh pihak luar negeri yang melakukan sistem budi daya dan inovasi produk lebih baik,” kata Rahayu.

Oleh karena itu pembiakan hoya secara berkelanjutan dapat menjadi prioritas awal. Perlu upaya konservasi dan pemanfaatan hoya dengan konsep savestudyuse. Ini meliputi penyelamatan, penelitian, dan pemanfaatan berkelanjutan.

Konsep itu cocok diterapkan pada kebun raya di Indonesia dengan lima fungsi melekat, yakni konservasi ex-situ, penelitian, pendidikan lingkungan, ekosiwata, serta layanan eksosistem. Rahayu mengatakan, dibutuhkan kearifan lokal dipadukan dengan kemajuan teknologi informasi. Juga dilibatkannya kecerdasan buatan untuk membantu kepentingan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan hoya di tanah air. (Indonesia.go.id)