LIPI mengembangkan alat sterilisasi dari virus Covid-19. Alat ini bobotnya ringan, mudah dibawa, dan diklaim mampu membunuh virus hanya dalam hitungan menit.

Ide-ide kreatif semakin sering bermunculan terutama terkait pencegahan penularan virus corona yang telah berlangsung lebih dari setahun di Indonesia. Kreativitas itu tidak hanya dihasilkan oleh buah pemikiran masyarakat, melainkan dari para akademisi dan peneliti di pemerintahan. Salah satunya adalah peneliti-peneliti di Pusat Penelitian Metalurgi dan Material Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2MM LIPI).

Mereka berhasil menuntaskan eksperimen untuk menciptakan alat sterilisasi virus SARS COV-2 portabel atau mudah dibawa dan dipergunakan untuk mendisinfeksi masker kain usai dipakai. Alat ini bekerja berbasis sinar ultraviolet (UV) dan mampu melakukan sterilisasi hanya dalam hitungan menit. Alatnya sangat ringan, mudah dikantongi atau berukuran saku (pocket), aman, dan tahan banting.

Menurut peneliti dari P2MM LIPI Gadang Priyotomo, selama ini alat steril semacam itu merupakan produk impor. "Belum ada yang dibuat di dalam negeri. Mengapa kita tidak membuat alat tersebut," katanya. Akhirnya, dia pun berinisiatif membentuk tim untuk menciptakan alat buatan dalam negeri.

Dalam waktu 1,5 bulan mereka mampu membuat prototipe alat steril ukuran saku dengan anggaran sebesar Rp15 juta. "Mungkin ini bisa menjawab upaya membantu tetap berlangsungnya protokol kesehatan pencegahan virus corona. Alat ini pun bisa kita bawa di dalam tas atau kantong kita," kata Gadang.

 

Manfaat Sinar UV-C

Gadang dan timnya menggunakan metode pengeringan (dry methods) dengan sinar UV-C yang bisa dimasukkan ke dalam penyimpanan (storage). Prototipe ini merupakan generasi pertama alat berskala mini portabel sterilisasi virus Covid-19. Alatnya sangat ringan, mudah dipegang, mudah dibawa, harganya terjangkau untuk masyarakat luas.

Mengutip penjelasan peneliti bidang teknologi radio dan optik dari Pusat Penelitian Elektronik dan Telekomunikasi LIPI Yusuf Nur Wijayanto, ada tiga tipe sinar UV, yaitu UV-A, UV-B dan UV-C. Perbedaan ketiga sinar UV adalah berdasarkan panjang gelombang yang bisa diukur dengan alat bernama optical spectrum analyzer atau optical wavelength meter. Secara umum, sinar matahari mengandung seluruh tipe UV dengan tingkat risiko berbeda.

Sinar UV-A dan UV-B masih memberikan manfaat untuk kehidupan manusia, misalnya menyehatkan kulit hingga pembentukan vitamin D. Kendati demikian, sinar UV-A mampu menembus jauh ke dalam kulit dan dianggap bertanggung jawab atas 80 persen risiko penuaan kulit, dari keriput hingga bintik-bintik penuaan. Selanjutnya ada UV-B juga dapat merusak asam deoksiribonukleat (DNA) di kulit kita dan menyebabkan kulit terbakar. Mengoleskan krim matahari (sunblock) atau tabir surya merupakan cara paling bijak untuk menghindari risiko terpapar UV-A dan UV-B.

Sedangkan sinar UV tipe C dapat menyebabkan kanker kulit dan kerusakan pada mata jika sering terpapar. UV-C memiliki rentang panjang gelombang antara 100 hingga 280 nanometer (nm) dan sangat berguna untuk melengkungkan dan merusak struktur materi dan protein DNA virus sehingga tidak mampu berkembang dan akhirnya mati. Sinar UV-C buatan pertama kali ditemukan pada 1978 dan sejak saat itu banyak digunakan untuk kegiatan sterilisasi di rumah sakit.

Misalnya sterilisasi ruang operasi, ruang unit rawat intensif (ICU), alat-alat medis hingga lantai bangunan rumah sakit. Juga untuk proses sanitasi air minum karena sanggup membunuh beberapa parasit resisten terhadap disinfektan kimia seperti klorin. Bahkan di Tiongkok, seperti dikutip dari BBC, sinar UV-C telah digunakan untuk mensterilisasi setiap bus umum yang akan masuk ke pul mereka usai dioperasikan. Perbankan global juga telah menerapkan sterilisasi memakai UV-C pada uang sebagai upaya pencegahan virus corona.

Dalam pengembangannya, Gadang mengedepankan panjang gelombang 254 nm, yang dapat membunuh kuman dan virus hanya dalam beberapa menit “Harapan kami, alat ini bisa membunuh virus SARS COV-2 dalam beberapa menit di dalam genggaman kita,” ungkapnya.

Dari segi desain, alat yang berdimensi 13x13x3 cm tersebut terdiri dari dua bagian yaitu kotak penyimpanan dan bagian penutupnya. Berdaya 3 watt, bagian penutupnya sudah bermagnet (built-in magnetic), sehingga dapat diposisikan portabel dan menempel pada bagian logam. Dengan bobot 300 gram, alat sterilisasi ini ringan dan mudah dibawa ke mana-mana. Selain itu, dilengkapi dengan sistem pengisian listrik mandiri (powerbank) berdaya 10.000 mAh, sehingga bisa mengisi daya telepon seluler.

Selain desain, tim juga memperhatikan pembuatan dengan proses manufaktur pada casing melalui teknik cetak khusus (customized) memakai mesin cetak 3 dimensi (3D printing machine). Bagian storage dibuat dari bahan plastik jenis acrylonitrile butadiene styrene (ABS) yang tahan benturan sehingga tidak mudah pecah, dan dapat didaur ulang serta lebih ramah lingkungan.

Alat sterilisasi ini bekerja dalam tiga mode. Pertama, penggunaan untuk disinfeksi masker kain atau dengan ukuran sejenis (di dalam pocket) dengan setting default 2 menit. Kedua, penggunaan secara manual untuk disinfeksi benda-benda di luar area pocket seperti pakaian, buku, tas, laptop, dan alat elektronik lainnya dengan setting default 15 menit. “Ketiga, penggunaan pada area yang bisa mengandung magnet seperti meja besi, lemari baju, kulkas, dan lain-lain,” sebut Gadang.

Pihak LIPI masih terus menyempurnakan kinerja alat itu termasuk upaya uji intensitas UV-C prototipe alat terhadap jarak objek dan uji performa melalui parameter jarak serta durasi objek virus. Selain itu, alat ini juga didaftarkan patennya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM. (*)